PROMO TERMURAH jual sepatu futsal salatiga | 087730277045
INFORMASI LENGKAP PROMO TERMURAH jual sepatu futsal salatiga | 087730277045
Kontak SMS / TELP : 087730277045
Layak namanya, adalah Pasar Pagi Kota Salatiga, mulai buka sebelum matahari terbit dan bubar di pagi hari. Uniknya, pasar ini tidak seperti galibnya sebuah tempat berdagang ratusan orang. Tak ada toko, los, pintu gerbang mau pun atap. Semuanya serba darurat namun usianya sudah puluhan tahun.
Pk 03.00 ratusan pedagang yang berdatangan dari Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang mulai berbenah untuk menyiapkan berbagai dagangannya. Di areal depan Pasar Raya I Kota Salatiga yang luasnya sekitar 2000 meter persegi, mereka memasang meja lipat ukuran 1 X 1,5 meter atau sekadar terpal plastik. Selanjutnya, barang dagangan diletakkan di atasnya. Mayoritas pedagang yakni perempuan.
Ada sedikit keanehan saat ratusan pedagang mulai menyiapkan lapaknya, sebab kapling “milik” mereka sesungguhnya tak ada tanda khusus. Karena, letaknya memang kesehariannya ialah areal parkir. Kendati semacam itu, para pedagang sepertinya telah hafal tempatnya berdagang. Sehingga, tanpa ragu, satu persatu lapak bayangan hal yang demikian ditempati “pemiliknya”.
Sepantasnya sebuah pasar, maka beraneka dagangan digelar di sini. Aneka ragam sayuran yang berasal dari kawasan Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang lebih mendominasi. Karena yakni pasar tradisional, otomatis transaksi juga lewat pelaksanaan tawar menawar kecuali dagangan berupa makanan matang. Selebihnya, tinggal pintar- pintarnya pembeli dalam menawar. Jika trampil, berbekal uang Rp 30 ribu telah dapat berbagai sayuran segar.
Dalam daya ingat aku, Pasar Pagi nan unik ini mulai dirintis tahun 1998, tepatnya seusai Pasar Raya I mengalami petaka kebakaran. Karena sempitnya lahan, akhirnya pihak pemerintah kota setempat menghasilkan lahan parkir untuk penampungan sementara pedagang. Sampai pasar yang terbakar selesai direnovasi, lokasi penampungan dimanfaatkan oleh pedagang kaki lima yang berjualan sembako.
Secara perlahan, jumlah pedagang yang berdagang makin hari terus bertambah sampai mencapai sekitar 500- 600 orang. Tidak ada yang memberikan nama, cuma karena bukanya pagi hari, selanjutnya disebut sebagai Pasar Pagi. Beberapa kali pihak dinas berkaitan mencoba menggusurnya, tapi selalu gagal. Hasilnya, eksistensi mereka diakomodir dengan berbagai prasyarat tertentu, diantaranya membayar restribusi, menjaga ketertiban dan pk 07.00 harus bubar.
Menikmati Sarapan Ala Pasar Pagi
Semua yang menarik, di luar keperluan sembako, Pasar Pagi juga menyediakan berbagai masakan khas pasar tradisional. Mulai dari bubur ayam, soto ayam, tumpang koyor, pecel sampai ikan kutuk (gabus). Beraneka kuliner hal yang demikian, harganya amat merakyat. Semangkok soto berikut the manis, dapat dinikmati hanya seharga Rp 4 ribu !. Untuk jajanan pasar, bisa dikata betul-betul lengkap. Meskipun olahan panganan seperti jadah bakar, apem, wajik, jenang, bolang baling, lemper,serabi dan kue- kue basah lainnya tersedia komplit.
Memandang aku warga Kota Salatiga, melainkan, belum tentu 6 bulan sekali bertandang ke Pasar Pagi. Hanya keriuhan ribuan orang yang belanja saja, saya merasa jengah. Rupanya karena penasaran, Rabu (9/12) aku ingin menyaksikan hiruk pikuk pasar unik ini. Sekitar pk 04.30, aku dan ibunya buah hati- si kecil meluncur ke kota yang berjarak 1 kilo meter dari rumah. Udara dingin serasa merasuk tulang, melainkan sebab tangan bu Bambang mendekap erat, karenanya kehangatan mulai terasa.
Demikian, seperti itu menjelang Jalan Jendral Sudirman, tepatnya mendekati Pasar Raya I, lalu lintas macet. Ratusan sepeda motor parkir malang melintang tidak jelas juntrungnya. Sesudah pula kendaraan roda empat yang didominasi pick up, berjajar menunggu diungkap bobotnya. Untuk mencari daerah parkir yang kosong saja membutuhkan perjuangan tersendiri.
Tak mendapatkan tempat parkir yang aku anggap aman, ibunya anak- buah hati berbelanja, aku berkeliling mencari kuliner yang ideal untuk sarapan. Tak sulit menemukannya, seorang ibu paruh baya, menonjol berdiri di samping meja lipat. Di atasnya terdapat bermacam lauk yang masih hangat. Untuk daerah duduk, ada kursi plastik 6 buah. Di tengah banyaknya orang yang lalu lalang, aku mengambil satu tempat duduk.
Sebelum aku memesan sarapan, sempat aku lirik ember untuk mencuci. Waduh ! Koq keruh amat, nampaknya sudah dipergunakan mencuci piring lebih dari 50 kali. Karena tak tega mengaplikasikan piring, aku minta dibuatkan pincuk (daun pisang yang dilipat sebagai alas makan). Menunya, nasi putih pakai ikan kutuk dan telor ikan yang digoreng, minumnya wedang jahe yang dibungkus plastik. Inilah sarapan pagi ala Pasar Pagi.
layaknya sebuah pasar, sebagian kali aktifitas sarapan aku terganggu. Orang- orang yang lalu lalang dengan belanjaannya menyenggol punggung, malah kuli angkut yang menggendong tiga bagor sayuran, main selonong dan nyaris salah satu bagornya menghantam kepala saya. Untungnya, saya sigap menghindar sehingga kepala satu- satunya sukses terselamatkan.
Oooo seperti ini to rasanya sensasi sarapan pagi di tengah hiruk pikuk ratusan pedagang, bila boleh sedikit menandakan kenikmatannya memang jauh berbeda. Sembari menikmati ikan kutuk yang dimasak pedas, tercium bebauan keringat yang beragam. meyakini dikala mereka berangkat berdagang, mayoritas belum mandi. Jadi, bau spesifik yang jelas menyebar ke bermacam penjuru.

Tukang Sayur Keliling
Saya sempat membayangkan, bagaimana bila mendadak hujan turun. Mereka berdagang hanya beratap langit, terus apa jadinya saat musim penghujan. Karena penasaran, saya bertanya dalam bahasa Jawa pada ibu penjual nasi. “ Bu, kalau pas makan begini terus turun hujan gimana bu ?” kata saya.
“ Ya kalau pas sarapan di sini turun hujan, terus tak berteduh. Yang pasti kuahnya akan bertambah mas, gratis,” jawabnya enteng. Batin saya, cerdas juga penjual nasi kutuk ini.
Usai menikmati sarapan, sambil menunggu ibunya selesai belanja, saya menyalakan rokok kretek. Saya lihat ada puluhan sepeda motor dengan rombong (semacam keranjang besar) di kanan kirinya penuh sayuran. Ketika saya tanyakan, ternyata mereka adalah tukang sayur keliling yang tengah kulakan. Salah satu di antaranya , yakni Wahyudi warga Macanan, Bringin, Kabupaten Semarang.
Menurut Wahyudi, setiap pagi, paling lambat pk 04.00 ia bersama rekannya sesama penjual sayur keliling rutin kulakan di Pasar Pagi. Selesai berbelanja yang dibutuhkan, biasanya pk 05.30 dirinya telah berkeliling ke berbagai kampung untuk menjajakan dagangannya. “ Kalau yang kulakan di sini, mungkin jumlah tukang sayur keliling mencapai 400 an orang mas,” jelasnya ketika saya tanya berapa tukang sayur yang ada.

Ratusan tukang sayur tersebut, usai kulakan biasanya langsung menyebar untungi mengunjungi pelanggannya. Mereka tak hanya menjajakan sayurannya di areal Salatiga saja, namun wilayah pemasarannya mencapai Kabupaten Semarang seperti Kecamatan Bringin, Tuntang, Bancak, Pabelan, Suruh hingga Tengaran. Sekitar pk 11.00, para tukang sayur sudah mengakhiri masa “dinas”nya dan pulang ke rumah masing- masing.
Kembali ke aktifitas pedagang di Pasar Pagi, keriuhan ratusan pedagang yang melayani pelanggannya, efektif berakhir pk 07.00. Peringatan tanda berakhirnya kegiatan pasar tradisional tersebut mulai diudarakan pk 07.30. Bunyi sirene yang meraung- raung melalui pengeras suara merupakan warning agar pedagang mengemasi barang dagangannya. Di sinilah keriuhannya, sebab, selain petugas dinas terkait terus menerus memberikan aba- aba, pedagang sendiri juga sangat sadar bahwa jam operasional Pasar Pagi telah berakhir dan mereka harus menutup lapaknya.

Begitulah gambaran kondisi Pasar Pagi Kota Salatiga yang unit, di mana sebuah pasar yang beratap langit, tanpa kios dan los, namun menjadi tumpuan hidup bagi ribuan warga. Tak hanya dari Salatiga saja, namun tak sedikit warga Kabupaten Semarang yang mencari nafkah di sini. Meski efektif hanya berjalan empat jam saja, tetapi hingga sekarang tetap bertahan di tengah pesatnya kemajuan teknologi. (*)